Kamis, 25 Maret 2010

Negara Pasundan Ciptaan Belanda

SETELAH Belanda melancarkan aksi militer pertama terhadap Republik Indonesia tanggal 21 Juli 1947, wilayah yang dikuasai oleh republik semakin menciut. Jawa Barat untuk sebagian besar telah diduduki oleh tentara Belanda. Komisi Jasa-Jasa Baik dari PBB berusaha supaya perundingan dapat terus diadakan di kapal perang Amerika Renville yang berlabuh di Teluk Priok. Saya satu kali sebagai pemimpin redaksi majalah politik Siasat mengunjungi kapal Renville, tapi harus didampingi oleh perwira penghubung (liaison) ALRI Willy Sastranegara (yang kelak jadi diplomat di Deplu). Saya lihat di sebuah kamar sempit ketua delegasi Republik P.M. Amir Syarifuddin memegang kitab injil di tangan sedang bercakap-cakap dengan Frank Graham, wakil Amerika dalam Komisi Jasa-Jasa Baik. Tanggal 17 Januari 1948 di geladak kapal Renville ditandatangani Persetujuan Renville yang ujung-ujungnya ialah keadaan republik makin sulit dan terpojok. Apalagi Belanda sama sekali tidak mengindahkan pasal-pasal ketentuan Renville. Van Mook bagaikan mesin penggiling bergerak terus memecah-belah Indonesia, membentuk Negara Indonesia Timur, (NIT-- yang dipelesetkan dalam pers
Republikein menjadi: "Negara Ikoet Toean") dan menyiapkan lahirnya Negara Pasundan.
"West Java Conferentie"
Sampai tiga kali pihak Belanda menyelenggarakan "West Java Conferentie" atau Konferensi Jawa Barat untuk meratakan jalan bagi terbentuknya negara Pasundan. Abdulkadir Widjojoatmodjo yang menjabat sebagai Recomba (gubernur) Jawa Barat mengambil prakarsa mengadakan konferensi yang pertama tanggal 12-19 Oktober 1947. Dia mengundang sebagai peserta konferensi eks residen republik di Bogor R.A.A Hilman Djojodiningrat yang ditunjuk sebagai ketua. Konferensi Jabar yang kedua diadakan di Bandung tanggal 15-20 Desember 1947, dihadiri oleh 154 peserta yang diangkat oleh Belanda. Karena dianggap "kurang demokrastis" oleh banyak peserta, maka diputuskan agar digelar konferensi ketiga.Itu terjadi dari 23 Februari hingga 5 Maret 1948. Mr. Ali Budiardjo sekretaris delegasi republik dalam perundingan Linggarjati (November 1946) atas kemauan kaum Republikein mengorganisasi Gerakan Plebisit Indonesia tanggal 1 Februari 1948. Menurut pasal persetujuan Renville, sebuah plebisit di bawah supervisi PBB bakal diadakan untuk mengetahui pendapat rakyat sebenarnya. Untuk mengantisipasi referendum di daerah-daerah yang diduduki oleh militer Belanda seperti Jabar, maka republik memutuskan pembentukan Gerakan Plebisit yang bertujuan memengaruhi sikap rakyat. Tapi tanggal 13 Februari 1948 Mr. Ali Budiardjo Ketua Gerakan Plebisit dipanggil oleh Jaksa Agung Belanda, Dr. Felderhof, lalu diberitahu gerakan itu bersifat prematur, belum saatnya.
Wali negara Wiranatakusuma
Pemerintah republik mengajukan protes kepada Komisi Jasa-Jasa Baik PBB atas sikap Belanda tadi, tetapi tidak ada dampaknya. Bahkan orang-orang Republikein yang masih ada di Jakarta dan dinilai oleh Belanda sebagai "berbahaya", "subversif" diperintahkan keluar dari Jakarta, yang setelah aksi militer pertama seluruhnya dikuasai oleh pemerintah Van Mook, untuk pergi ke pedalaman yaitu Yogya. Ali Budiardjo dan Hamid Algadrie keduanya dari sekretariat delegasi republik, Jusuf Jahja wakil wali kota republik dll. "dibuang" ke Yogya. Pada konferensi Jabar kedua seorang peserta yang membawakan suara Republikein R.A.A Wiranatakusuma secara blak-blakan menyatakan bahwa para peserta konferensi adalah "boneka-boneka" (Belanda). Pada konferensi ketiga terdapat banyak peserta yang pro republik yang dipimpin oleh Raden Soejoso, eks Wedana Senen Jakarta. Mereka berusaha menggagalkan konferensi, menyebarkan salinan pidato Wapres Mohammad Hatta yang menyerukan agar mencegah pemisahan Jawa Barat dari RI. Belanda menggagalkan gerak peserta pro-Kiblik dalam konferensi Jawa Barat. Tanggal 4 Maret 1948 dipilih Wiranatakusuma, mantan Regent Bandung, Menteri Dalam Negeri kabinet Soekarno, Ketua DPA sebagai Wali negara Pasundan. Peserta pro-Koblik lebih menyukai Wiranatakusuma, kendati sudah tuli di telinga kanan
dan lumpuh di kaki kiri, ketimbang memilih Recomba Jabar Hilman Djajadiningrat.
Wakil AS DuBois
Van Mook bisa menerima Wiranatakusuma selaku Wali negara Pasundan, sebab dengan
itu dia membuktikan bahwa dalam usahanya membentuk negara Indonesia Serikat tidak ada "permainan boneka-boneka". Dengan diakuinya negara bagian Sumatra Timur, Pasundan, Madura, di samping NIT dan Kalimantan Barat yang sudah ada lebih dulu, maka Van Mook maju terus. Akibatnya, perundingan Belanda-Republik di bawah supervisi Komisi Jasa-jasa Baik PBB menghadapi banyak rintangan. Wakil AS dalam komisi itu Court DuBois yang tahun 1930-an menjabat sebagai konsul jenderal AS di Batavia yang mulanya pro-Belanda akhirnya berubah sikap dan memihak kepada RI. Setelah perundingan lamban selama satu setengah bulan di Jakarta dan di Kaliurang, DuBois ikut bersama Presiden Soekarno dan Wapres Hatta dalam peninjauan ke dataran tinggi Dieng. Di sana DuBois sangat terkesan oleh penderitaan kaum pengungsi dari daerah pendudukan militer Belanda. DuBois lalu yakin bahwa wakil hakiki dan satu-satunya dari penduduk Indonesia adalah Republik Indonesia. Belanda marah. Van Mook tidak bisa menerima pandangan dan sikap orang-orang asing seperti Amerika, Inggris, Australia mengenai Indonesia. Tahu apa mereka seperti Mountbatten, Killearn, Kirby, Graham, Critchlay, DuBois? Mereka 'kan bodoh-bodoh, malas, gila perempuan, pemabuk, defaitistis, Belanda tidak mengerti kenapa orang anti-Belanda?***
Penulis, wartawan senior. Sumber berita Pikiran Rakyat Cetak 2006 melalui http://groups.yahoo.com/group/nasional-list/message/45906
gambar atas: Konperensi Jawa barat dilaksanakan di Gedung Sate Bandung. Sumber foto capture dari film Belanda.

posted by Rushdy Hoesein at 5:03 PM 5 comments
Thursday, February 11, 2010
Sisi Gelap Pemberontakan Westerling
Oleh: Suryadi
BARU-BARU ini sejarawan Universitas Leiden, Cees Fasseur menulis biografi Ratu Belanda Juliana dan suaminya Pangeran Bernhard. Buku itu berjudul Juliana & Bernhard; het verhaal van een huwelijk, de jaren 1936-1956 (Juliana & Bernhard; Cerita tentang Sebuah Perkawinan, 1936-1956) (Amsterdam: Balans, 2009). Sebelumnya Fasseur juga telah menulis biografi Ratu Wilhelmina, ibunda Ratu Juliana, yaitu Wilhelmina: krijgshaftig in een vormeloze jas (Wilhelmina: Si Pemberani Dalam Mantel tanpa Model) (Amsterdam: Balans, 2001). Rupanya ada bagian dalam narasi biografi Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard itu yang mengganjal hati beberapa pihak di Belanda, yaitu menyangkut peran sekretaris sang Pangeran yang bernama I. Gerrie van Maasdijk (1906-2004). Gerrie adalah seorang wartawan liputan perang untuk surat kabar De Telegraaf yang kemudian menjadi sekretaris Pangeran Berhnard (1911-2004). Pada 1956 Gerrie dipecat sebagai sekretaris sang Pangeran karena perbedaan pendapat yang sangat tajam antara keduanya. Narasi yang agak miring tentang Gerrie dalam buku Fasseur telah mengundang kritik keluarganya. Hal itu telah mendorong pula Jort Kelder (seorang wartawan) dan Harry Veenendaal (seorang sejarawan) melakukan penelitian lanjutan untuk meluruskan sejarah -- meminjam istilah yang sedang tren di Indonesia -- tentang Gerrie van Maasdijk, sekaligus untuk menanggapi buku Fasseur. Akhir November lalu, Jort dan Harry meluncurkan bukunya yang berjudul ZKH: hoog spel aan het hof van Zijne Koninklijke Hoogheid. De geheime dagboeken van mr. dr. I.G. van Maasdijk (ZKH: Permainan Tingkat Tinggi di Istana Kerajaan yang Mulia. Rahasia Buku Harian Mr. Dr. I.G. van Maasdijk) (Amsterdam: Gopher BV, 2009), sebagai tanggapan atas buku Fasseur. Seperti dapat dikesan dari judulnya, bahan utama ZKH adalah buku harian Gerrie van Maasdijk. Jort dan Harry juga melakukan penelitian yang intensif terhadap surat-surat korespondensi antara Gerrie dan Pangeran Bernhard dan pihak-pihak lain, serta surat-surat korespondensi Pangeran Bernhard sendiri.Kudeta SoekarnoBuku ZKH langsung menjadi sorotan media dan menjadi topik diskusi di Belanda, karena berhasil mengungkapkan manuver politik keluarga Kerajaan Belanda di Indonesia di tahun 1950-an yang selama ini belum terungkap. Jort dan Harry menyimpulkan bahwa Pangeran Bernhard, salah seorang pendiri The Bildelberg Group (1954) yang berambisi agar bangsa kulit putih tetap memegang kendali di dunia ini, pernah merencanakan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada 1950, menyusul kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Rupanya sang Pangeran berambisi menjadi Raja Muda (viceroy) di Indonesia, seperti halnya Lord Mounbatten yang menjadi viceroy di India pada akhir 1940-an. Tujuannya tentu untuk melanggengkan kekuasaan penjajah Belanda di Indonesia. Hal itu terungkap dalam surat-surat korespondensi Pangeran Bernhard, antara lain dengan Jenderal USA Douglas MacArthur. Buku Jort dan Harry cukup menjadi bahan pembicaraan masyarakat Belanda. Bahkan, pemerintah Belanda juga bereaksi terhadap temuan sejarah yang baru yang diungkapkan dalam buku itu. WesterlingBuku ZKH mengungkapkan kemungkinan hubungan erat tindakan kudeta gagal yang dilakukan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling di Bandung dengan ambisi politik Pangeran Bernhard itu. "Bernhard wilde coup in Indonesië (Bernhard menginginkan ada kudeta di Indonesia)," tulis harian Nederlands Dagblad edisi 30 November 2009. Kudeta yang dilakukan Westerling jelas ingin merongrong kekuasaan Presiden Soekarno yang baru seumur jagung. Di antara dokumen-dokumen yang terkait dengan Pasukan Elite Kepolisian Marsose (Maréchaussée) yang diteliti oleh Jort dan Harry juga ditemukan petunjuk bahwa staf Pangeran Bernhard pernah mengontak Kapten Westerling di Indonesia. Oleh karena itu, kuat dugaan bahwa kudeta yang dilakukan Westerling di Bandung (Januari 1950) yang mengerahkan Resiment Speciale Troepen (RST) dan melibatkan Sultan Hamid II adalah gerakan militer yang ada kaitannya dengan ambisi Pangeran Bernhard untuk menjadi raja muda di Indonesia. Kudeta itu sendiri gagal, walau 94 anggota pasukan TNI di Bandung sempat dibunuh dengan kejam oleh Westerling dan anak buahnya. Konspirasi Pemerintah Belanda dengan berbagai cara untuk menyelamatkan Westerling dari tuntutan Pemerintah Indonesia sampai ia berhasil lolos ke Singapura pada Februari 1950 seolah memperkuat dugaan Jort dan Harry bahwa kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin Westerling mungkin disetir Belanda. Sangat naif jika kudeta itu hanya dianggap sebagai tindakan kejam yang dilakukan oleh sekelompok tentara desersi. Meminjam judul buku Jort dan Harry, sangat mungkin ada "permainan tingkat tinggi" antara "istana kerajaan Yang Mulia" di Den Haag dan Westerling di Indonesia. Kebenaran sejarahSampai sekarang masih banyak bagian dari sejarah kelam kolonial Belanda di Indonesia yang belum diungkapkan. Syukur bahwa di Belanda, dengan tradisi akademiknya yang bebas, penelitian ke arah itu terus berlangsung. Laporan dalam De Excessenota yang disusun secara terburu-buru dan disampaikan oleh Perdana Menteri Belanda Piet de Jong pada Juni 1969 perlu disempurnakan. Dalam laporan itu dicatat sekitar 140 kejahatan yang dilakukan militer Belanda di Indonesia pasca-1945, tetapi dengan angka-angka statistik yang diperkecil. Fasseur pernah mengusulkan agar laporan itu ditulis ulang karena banyak mengandung manipulasi. Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court) berada di Den Haag, Belanda. Pengadilan itu akan terasa sedikit main-main jika negara Belanda sendiri tidak berusaha mengungkapkan kejahatan-kejahatan perang yang pernah mereka lakukan di Indonesia. (Suryadi, dosen dan peneliti pada Leiden Institute for Area Studies (LIAS), Universiteit Leiden, Belanda)***
Sumber: Pikiran Rakyat 11 Februari 2010 (C:\Documents and Settings\hoesein\Desktop\PIKIRAN RAKYAT - Sisi Gelap Pemberontakan Westerling.mht)

posted by Rushdy Hoesein at 5:22 AM 0 comments
Tuesday, February 09, 2010
Persatuan Wartawan Indonesia dan Hari Pers Nasional
Bertempat digedung musium pers Solo (saat ini), pada tanggal 9 Februari 1946, diadakan pertemuan untuk membentuk Persatuan Wartawan Indonesia. Tidak pada saat itu tanggal 9 Februari ditetapkan sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Gagasan ini baru muncul pada Kongres Ke-16 PWI di Padang. Ketika itu, bulan Desember 1978, PWI Pusat masih dipimpin Harmoko. Salah satu keputusan Kongres adalah mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan tanggal 9 Februari sebagai HPN. Ternyata semua ini harus menunggu tujuh tahun lagi untuk dapat disetujui. Melalui Surat Keputusan Presiden No. 5/1985, maka hari lahir PWI itu resmi menjadi HPN. Boleh jadi ini merupakan usaha lobi tingkat tinggi Harmoko, yang sejak 1983 menjadi Menteri Penerangan. Sebenarnya 9 Februari 1946 memang punya nilai historis bagi komunitas pers di Indonesia. Sebab, pada hari itulah diselenggarakan pertemuan wartawan nasional yang melahirkan PWI, sebagai organisasi wartawan pertama pasca kemerdekaan Indonesia dan menetapkan Sumanang sebagai ketuanya. Namun, PWI bukanlah organisasi wartawan pertama yang didirikan di Indonesia. Jauh sebelum itu, dizaman Belanda sejumlah organisasi wartawan telah berdiri dan menjadi wadah organisasi para wartawan. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Organisasi ini berdiri pada tahun 1914 di Surakarta. Pendiri IJB antara lain Mas Marco Kartodikromo yang mengaku muridnya dari Tirto Adhi Surjo, kemudian juga pendiri lainnya adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Sosro Kartono dan Ki Hadjar Dewantara. IJB merupakan organisasi wartawan pelopor yang radikal, dimana sejumlah anggotanya sering diadili bahkan ada yang diasingkan ke Digul oleh penguasa kolonial Belanda. Selain IJB, organisasi wartawan lainnya adalah Sarekat Journalists Asia (berdiri 1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), serta Persatoean Djurnalis Indonesia (1940). Berbagai organisasi wartawan tersebut tidak berumur panjang akibat tekanan dari pemerintahan kolonial. Pada tahun 1984, melalui Peraturan Menteri Penerangan Harmoko (Permenpen) No. 2/1984, PWI dinyatakan sebagai satu-satunya organisasi wartawan atau wadah tunggal, yang boleh hidup di Indonesia adalah PWI. Dan setahun setelah menjadi wadah tunggal, pada 1985 PWI berhasil mengegolkan HPN tersebut. (disarikan dari http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/02/23/0058.html ) Foto diatas adalah peristiwa berdirinya PWI di Solo.

posted by Rushdy Hoesein at 9:38 AM 1 comments
Sunday, February 07, 2010
Masya Allah, Sejak Kapan Saya Jadi Pacar Gadis Maluku
Rakyat Merdeka 25 Jan 2010
Oleh: Rosihan Anwar
MARILAH saya mulai kisah ini dan awal. Apa pasal? Syahdan pada awal Januari 2009. datang ke rumah di belakang Pasar Antik Jalan Surabaya Jakarta Pusat, Marije Plomp dari NIOD (Nederland Instituut voor Oorlogsdocumentasie - Lembaga Belanda untuk dokumentasi perang). Amsterdam. Untuk tujuan menulis buku, Marije mewawancarai saya tentang Piet de Queljoe. pegawai Kementerian Penerangan Kepala Percetakan Negara tahun 1955 dan tentang Frans Goedhart dari suratkabar Het Parool yang sebagai wartawan Belanda pertama menghadiri HUT Proklamasi Kemerdekaan di Yogya 17 Agustus 1946. Pada tanggal 27 Januari. Marije menulis surat menyampaikan tcnmakasihnya atas cerita-cerita saya tentang Amir Syarifuddin. Soedirman dan lain-lain yang didengarnya dengan penuh keasyikan. Pada penutup suratnya, tercantum kalimat berikut Pertanyaan terakhir, cocokkah kiranya bahwa sebuah foto album dengan gambar-gambar remaja dari anda berada di arsip-arsip Nefis di Nationaal Archief Den Haag? Saya kaget tersentak. Memang sebuah foto albumku telah lama hilang, di zaman revolusi. Kok kini ada di arsip Negeri Belanda? Terkenang lagi, saya malam tanggal 21 Juli 1947. Belanda mulai melancarkan aksi militer pertama terhadap Republik Indonesia. Sebuah truk militer Nica-Belanda berhenti di Jalan Cianjur No 18 tempat kediaman saya bersama Jusuf Ronodipuro. Kepala RRI Jakarta. Waktu itu saya Pemimpin Redaksi Mingguan Politik Siasat, yang terbit 4 Januari 1947. Sebelum itu, sedan 1 Oktober 1945, selama masa satu tahun, saya Redaktur Harian Merdeka. Sebuah regu tentara KNIL dipimpin oleh seorang Belanda bule menggeledah kamar saya, memeriksa semua buku dan majalah yang terletak di meja. Sersan mayor bule itu ditugaskan menangkap anggota TNI, Tentara Penghubung yang berkantor di Jalan Cilacap No 4. Dia datang untuk mengambil Letnan Susantiyo yang biasa menginap di Jalan Cianjur, tapi malam itu ada di Tasikmalaya. Karena sersan itu melihat di meja majalah Siasat yang dikiranya majalah tentara, maka sebagai pengganti Susantiyo. saya diangkutnya ke dalam truk, di mana sudah ada beberapa anggota Tentara Penghubung seperti Mayor MT Haryono (kelak dibunuh dalam peristiwa G30S. 1965), Mayor Wibowo, Letnan Sutrisno dan lain-lain. Kami diangkut ke penjara Bukit Duri di Jatinegara. Di sana, saya dimasukkan ke dalam sel sempit bersama MT Haryono, Sutrisno. Untung saya tidak lama ditahan di penjara. Setelah diketahui saya bukan TNI, melainkan wartawan, maka saya segera dibebaskan, boleh pulang bergabung dengan isteri Zuraida Sanawi yang baru satu tahun dinikahi. Militer Belanda yang menangkap saya telah membawa sejumlah majalah Siasat, dan niscaya juga foto albumku, sudah tidak ada lagi. 60 tahun lebih telah berlalu sejak aksi militer Belanda pertama. Tahu-tahu Marije Plomp menanyakan apakah saya punya foto album dalam arsip Nefis yang disimpan di Arsip Nasional Kerajaan Belanda? Saya minta bantuan Dubes Belanda Dr Nikolaos van Dam dan Jaap Erkelens mantan perwakilan KITLV (Koninkhjke Instituut voor Taal Land en Volkenkunde) di Jakarta yang sedang berada di sini mempersiapkan terbitnya sebuah buku foto mengenai peringatan 100 tahun Sutan Sjahrir (akan terbit Naret 2010). Dapatkah mereka mengusahakan agar foto albumku dikembalikan? Sulit. Album foto itu rupanya diperlakukan sebagai jarahan perang atau oorlogsbuit dan sudah menjadi milik negara atau staats-bezit Belanda. Namun Jaap Erkelens, Marije Plomp dan Ny I Heidebank dari Arsip Nasional Belanda dengan persetujuan Direkturnya, Martin Berendse alih-alih berusaha mereproduksi semua foto yang ada. Kemudian menjelang Idul Fitri 2009 saya terima di Jakarta, sebuah repro album foto tersebut. Dalam suratnya tanggal 9 Oktober 2009, kepada saya. Berendse menulis Jaap Erkelens memberitahukan kepada kami bahwa anda ingat mengenai sebuah penggeledahan (inval) dan Nefis di rumah anda pada 21 Juli 1947. Menurut surat pengantar pada album itu. album sudah dalam bulan April 1946 disita oleh het Buitenkantoor te Batavia. Oleh salah seorang pegawainya dibubuhi catatan di depan di dalam album mengenai diri anda Redacteur Merdeka. Amant van Anna Laluasan zr van RE Laluasan. seer PKI Maloekoe. (Redaktur Merdeka. Kekasih dari Anna Laluasan. adik dari RE Laluasan. Sekretaris PKI Maloekoe). Tidaklah jelas apakah penyitaan (foto album) im mempunyai kaitan dengan pekerjaan anda sebagai wartawan ataukah dengan sebuah penyidikan mengenai bahan yang memberatkan tentang tuan RE Laluasan. Selanjutnya Berendse menulis Pada album ini juga ditambahkan Sebuah kumpulan sajak dari Sanoesi Pane dengan judul Madah Kelana, dengan di depannya catatan "kepunyaan kls HIA". Tiga buah pita alamat (adres-bandn) untuk pengiriman koran-koran atau majalah-majalah dengan tulisan-tulisan berikut Tribune Box 35 Haymarket Australia PO Sidney. Communist Party Australia. Haymarket, Australia, PO Sydney Communist Party Australia. Haymarket, Australia. PO Melbourne. Membaca keterangan rijksarchivans mr Berendse di atas tadi, saya terperangah. Masya Allah! Sejak kapan saya Redacteur Merdeka menjadi Amant (perkataan Perancis untuk Kekasih, pacar) dari seorang gadis Maluku bernama Anna Laluasan? Sama sekali saya tidak kenal gadis itu. Anehnya, dalam kumpulan foto yang direpro bersama foto-foto album saya terdapat foto Anna Laluasan itu sedang duduk dalam pangkuan seorang laki-laki juga Maluku. Saya perhatikan wajahnya, sosok tubuhnya di foto tersebut. Tidak menurut selera saya, sama sekali tidak setara dengan gadis cantik asal Betaw i bernama Ida Sanawi yang waktu itu bersama orang tuanya mengungsi ke Yogya. Tiap kali ada kereta api luar biasa Perdana Menteri Sjahrir pergi ke Yogya untuk sidang kabinet, selalu saya ikut dalam KLB itu. Hanya untuk menengok gadis yang saya taksir. Kemudian sejak kapan saya ada hubungan dengan Partai Komunis Indonesia Maloekoe dan dengan Partai Komunis Australia di Sydney dan Melbourne? Ini sungguh suatu cerita aneh bin ajaib. Atau apakah ini tipikal kerja intel militer Belanda Nefis yang menurut Sejarawan Dr Rushdy Hoesein kepada saya, suka menambah-nambah keterangan yang bukan-bukan dalam sesuatu dokumen? Saya menghadapi sebuah misteri.
Foto atas: Saya bersama Martin Brendse (Direktur Arsip Nasional Belanda)

posted by Rushdy Hoesein at 3:12 AM 0 comments
Saturday, January 30, 2010
"Snapshot" Amir Sjarifoeddin

Oleh: Rosihan Anwar
Membaca tulisan Sabam Siagian berjudul Diskusi tentang Alm Amir Sjarifoeddin (SP 31 Mei 2008) tampil lagi di layar ingatan saya beberapa snapshot Bung Amir, sebagaimana saya mengenalnya pada zaman pendudukan Jepang dan hari-hari pertama revolusi Indonesia. Pada suatu malam pertengahan 1942, zaman Jepang, di sebuah gedung di jalan yang kini bernama Merdeka Barat, Jakarta, Barisan Pemuda Asia Raya digembleng oleh Mr Amir Sjarifoeddin, pemimpin nasionalis terkenal. Atas dorongan Dr Abu Hanifah, saya dan Usmar Ismail memasuki perkumpulan Barisan Pemuda Asia Raya, yang selain dilatih berbaris secara militer oleh dua mantan opsir tentara KNIL juga diberi ceramah- ceramah mengenai nasionalisme. Bung Amir menguraikan sejarah pergerakan nasional dan menganjurkan agar pemuda melanjutkan perjuangan untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Pemuda harus senantiasa senasib sepenanggungan dengan rakyat. Juga mendengarkan kata wong cilik. Dia menggunakan sebuah tamsil, yaitu supaya pemuda mendengarkan "radio masyarakat". Saya sangat terkesan oleh kepandaian Bung Amir berpidato. Saya kemudian menulis cerpen untuk ikut dalam perlombaan mengarang yang diselenggarakan oleh majalah Djawa Baroe. Judul cerpen Radio Masyarakat, terpilih sebagai pemenang nomor tiga. Dikasih hadiah Rp 50. Kelak dimuat oleh HB Jassin dalam antologi sastra Gema Tanah Air. Karena buku itu dipakai dalam pelajaran sastra pelajar SMP, saya dikenal sebagai yang menciptakan istilah Angkatan 45 dalam kesusasteraan, dan sebagai penulis cerpen Radio Masyarakat.
Pertemuan kedua dengan Bung Amir terjadi di Stasiun Gambir petang hari 1 Oktober 1945. Pada hari itu Merdeka, yang dipimpin BM Diah, terbit untuk pertama kali. Sebagai redaktur pertama harian Merdeka bersama Wali Kota Jakarta Suwiryo saya menunggu kedatangan Bung Amir dari Surabaya. Dia ditangkap oleh Jepang pada Januari 1943, dituduh memimpin gerakan di bawah tanah yang dibiayai dengan uang sebesar 25.000 gulden dari Van der Plas sebelum kapitulasi Belanda kepada Jepang. Dia dihukum mati oleh Jepang, tapi berkat intervensi Soekarno vonis itu tidak dilaksanakan. Bung Amir telah diangkat sebagai Menteri Penerangan dalam kabinet pertama Presiden Soekarno. Turun dari kereta api dia tampak lelah dan kurus. Jelas dia telah disiksa oleh kempetai Jepang. Dia tidak dapat memberikan keterangan apa-apa kepada wartawan yang datang, cuma satu orang. Dia langsung pulang ke rumah istrinya di Jalan Merbabu. Saya ikuti dia ke sana. Dia tetap tidak mau bicara. Kecuali bertanya "Saudara dulu ada di mana?" Saya jawab "Saya orang biasa, Bung". Segera dia bertugas sebagai Menteri Penerangan. Pada 4 Oktober diselenggarakan konferensi pers pertama dengan koresponden luar negeri yang telah datang di Jakarta. Diceritakannya pengalamannya dalam gerakan bawah tanah melawan Jepang. Dengan tegas disimpulkannya: "Semua itu menunjukkan cerita-cerita orang di luar bahwa pemerintahan RI adalah boneka Jepang sama sekali tidak benar". Saya terkesan mendengar kefasihan dia bicara dalam bahasa Inggris.
Tak Banyak Bicara
Pada hari yang sama di kediaman Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi), Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta menerima para koresponden luar negeri, yang pada waktu itu berpakaian seragam militer dan di pundak ada badge war correspondent. Soekarno didampingi oleh beberapa menteri, seperti, Menlu Subardjo, Mendagri Wiranatakusuma, Menteri Perekonomian Surachman, Menteri Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Menteri Kehakiman Soepomo, dan Menteri Penerangan Amir Sjarifoeddin yang pakai celana pendek, kaus kaki panjang, gaya uniform Marsekal Lord Wavell. Dia tidak banyak bicara. Yang menjawab pertanyaan Presiden Soekarno
Pada 10 Oktober, Tiongkok merayakan peringatan Kuomintang. Di gedung Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Lapangan Banteng (di zaman Belanda Hooggerechtshof, Mahkamah Agung) Bung Amir berpidato tanpa teks yang dipersiapkan. Dia bicara lancar, menarik, karena merujuk pada fakta-fakta sejarah. Salah satu sound bite diutarakannya ialah "Kemerdekaan adalah jembatan emas untuk mencapai keadilan dan kemakmuran".
Kami berada di Yogya pada 10 November 1945 di Gedung Sociteite, tempat diadakannya Kongres Pertama Pemuda Indonesia. Presiden dan Wakil Presiden hadir, juga Menteri Penerangan. Pukul 10.00 di- terima telepon interlokal dari Surabaya yang mengabarkan "Inggris telah mulai membom". Sumarsono, pemimpin PRI (Pemuda Republik Indonesia), segera menginstruksikan agar delegasi Jawa Timur meninggalkan ruangan dan kembali ke front. Bung Amir mendekati saya dan berkata "Pergilah ke Surabaya. Beritakan pertempuran di situ". Itulah sebabnya saya dan rekan Mohammad Supardi dari Merdeka dengan naik kereta api yang membawa amunisi berangkat meliput pertempuran di Surabaya.
Saya lihat Bung Amir bersama Dr Ak Gani menyambut kedatangan delegasi Belanda di Pelabuhan Cirebon pada November 1946. Ketua Komisi Jenderal Belanda mantan PM Schermerhorn dan Letnan Gubernur Jenderal Van Mook sedang dalam perjalanan ke Linggajati di mana sudah menunggu PM Sutan Sjahrir. Saya tidak dapat bicara dengan Bang Amir waktu itu. Saya bukan wartawan, melainkan ditunjuk oleh pemerintah menjadi ajudan Lord Killearn, sehingga sibuk melayani diplomat Inggris yang jadi mediator perundingan Linggajati. Karena Sjahrir menolak tuntutan Belanda supaya menyetujui pembentukan gendarmerie yang bertanggung jawab atas keamanan dan di- kepalai oleh jenderal Belanda, sedangkan di pasal-pasal politik dia telah memberikan konsesi, terjadi krisis yang menyebabkan Sjahrir mengembalikan mandatnya. Amir Sjarifoeddin tampil sebagai PM pada 3 Juli 1947, tapi dalam kabinetnya Masyumi tidak ikut serta. Atas saran Soekarno, Bung Amir memasukkan orang-orang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) seperti Wondoamisano, Arudji Kartawinata ke dalam kabinet dan dengan begitu Masyumi terpecah-belah. Sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Siasat, saya diminta datang ke Yogya untuk menghadiri konferensi pers yang diadakan oleh Bung Amir. Saya dengarkan uraiannya bahwa dia membutuhkan backing politik golongan Islam terhadap kabinetnya dan karena itu memasukkan PSII ke dalamnya. Tak lama setelah saya balik ke Jakarta, pada 21 Juli 1947 Belanda melancarkan aksi militernya yang pertama terhadap Republik.
Kapal Perang
Kesempatan berikut saya melihat Bung Amir ialah di kapal perang Amerika Renville, yang berlabuh di Tanjung Priok di mana diadakan perundingan dengan pihak Belanda. Bung Amir sedang bercakap-cakap dengan Profesor Frank Graham, wakil Amerika dalam Komisi Tiga Negara (KTN) yang jadi perantara dalam perundingan Renville, Desember 1947 dan berakhir dengan ditandatanganinya Persetujuan Renville 17 Januari 1948. Waktu bercakap-cakap dengan Graham di geladak Renville, Bung Amir memegang sebuah Kitab Injil. Reaksi partai Masyumi dan PNI terhadap teks perjanjian Renville yang telah ditandatangani oleh PM Amir Sjarifoeddin menimbulkan krisis kabinet. Bung Amir mengembalikan mandat dan kabinetnya digantikan oleh kabinet Mohammad Hatta pada 29 Januari 1948. Sejak itu Bung Amir hilang dari layar radar pengamatan saya. Dari pedalaman datang berita mengenai oposisi keras dari Sayap Kiri yang kemudian menjelma sebagai FDR (Front Demokrasi Rakyat) terhadap kabinet Hatta. Bung Amir aktif di dalamnya. Pada 11 Agustus, Suripno yang mewakili RI di Praha, bersama seorang "sekretaris" terbang dari Bukittinggi ke Yogya dan beberapa hari kemudian mengungkapkan bahwa "sekretaris" itu ada- lah Musso, gembong PKI yang sudah lama bermukim di Uni Soviet.Dengan cepat Musso membubarkan FDR, membentuk PKI. Bung Amir memberikan pengakuan publik bahwa sejak 1935 dia bergabung dengan "Partai Komunis Ilegal" yang dibentuk oleh Musso di Surabaya pada 1936. Lalu Setiadjit, Tan Ling Djie, dan Abdulmadjid, juga mengaku mereka adalah komunis.Pada 18 September 1948 dipimpin oleh Sumarsono pecah pemberontakan PKI di Madiun. Akibatnya, Soekarno-Hatta bertindak tegas terhadap PKI. Musso ditembak mati ketika melarikan diri. Bung Amir bersama Maruto Darusman ditangkap, kemudian menjelang akhir tahun dieksekusi di sebuah desa dekat Solo. Bung Amir tewas dengan menggenggam sebuah buku doa Kristen, setelah menyanyikan lagu "Internationale", dalam usia 41 tahun, masih muda. Apakah Bung Amir komunis? Pertanyaan ini saya ajukan kepada Bung Sjahrir yang menjawab "tidak". Tapi, Sjahrir tidak memberikan alasan mengapa dia menjawab begitu. Bagaimanakah Bung Amir waktu masih studen Rechts Hoge School di Batavia? Tanya saya kepada Dr Abu Hanifah, yang satu asrama dengan Bung Amir. Dijawabnya "Amir itu seniman. Di kamarnya dia suka main biola menggesek lagu-lagu klasik. Pada waktu itu karena pengaruh guru besarnya Profesor Schepper dia sedang tekun membaca Injil, sebagai orang yang semula Islam berganti agama memeluk Kristen. Tidak ada tanda-tanda dia tertarik pada komunisme". George McTurnan Kahin penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia menceritakan bahwa Amir Sjarifoeddin menjadi tokoh oposisi di barisan Sayap Kiri karena "kecewa kepada Amerika sewaktu perundingan Renville". Dia merasa ditinggalkan oleh AS yang katanya jago demokrasi itu. Tapi, keterangan lain yang saya dengar waktu itu sebabnya Amir menyatakan dirinya komunis adalah untuk tetap bisa berperan sentral di pentas politik, berada at center stage. Mana yang benar, siapa yang tahu? Bung Amir telah membawa sebuah misteri ke alam kubur. Orang boleh mengadakan kajian psiko-analisis dan mungkin di situ bisa diperoleh jawaban untuk menerangkan perilaku Bung Amir. Di mata saya, sebagai wartawan muda di zaman revolusi, Bung Amir adalah seorang nasionalis, idealis, tapi bersamaan juga tragis.
Penulis adalah wartawan senior
Sumber: SUARA PEMBARUAN DAILY
Wednesday, November 26, 2008 at 4:51am

posted by Rushdy Hoesein at 4:00 PM 0 comments
Monday, December 28, 2009
60 th Penyerahan Kedaulatan kepada RIS

video

Pak Rosihan Anwar pada tanggal 22 Desember 2009, hadir di Ridder Zaal Den Haag Negeri Belanda dalam rangka peringatan 60 th Penyerahan Kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat yang tepatnya tanggal 27 Desember 2009. Riddere Zaal adalah tempat berlangsungnya pembukaan Konperensi Meja Bundar (KMB) pada bulan Agustus 1949. Radio Nederland Wereld Omroep sebagai pengundang, telah membuat rekaman video untuk peristiwa ini. Dalam keterangannya, secara konsisten, Pak Rosihan berkata, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang memunculkan Republik Indonesia adalah tanggal 17 Agustus 1945. 60 tahun yang lalu sejak Agustus sampai Desember 1949, Pak Rosihan adalah wartawan surat kabar Pedoman yang bertugas meliput, baik KMB maupun Penyerahan Kedaulatan kepada RIS.

posted by Rushdy Hoesein at 11:23 PM 0 comments
Wednesday, December 23, 2009
kuur house

Di Scheveningen Den Haag negeri Belanda ada sebuah bangunan yang kini dipakai Hotel. Pada masa lalu tepatnya dalam rangka Konperensi Meja Bundar gedung ini dipakai untuk perundingan Indonesia Belanda yang disaksikan PBB guna penyelesaian Dekolonisasi di Indonesia. Pada hari Senin tanggal 21 Desember 2009 dalam suasana lingkungan bersalju, Pak Rosihan Anwar melakukan Napak Tilas disini. Baginya tempat ini merupakan situs penting tempat berlangsungnya perhelatan bangsa itu pada masa lalu. Saat itu sebagai wartawan "Pedoman" dirinya diundang pemerintah Belanda untuk meliput jalannya konperensi yang berlangsung dari bulan Agustus sampai November 1949. Nama gedung ini dahulu "Kuur House" kira-kira artinya rumah berobat. Gedung yang dibangun pada abad ke 19 ini berada dipantai dekat kota Den Haag. Pantai itu dikenal sebagai daerah Scheveningen. Pak Rosihan dengan sedikit romantik bercerita : "Dahulu pada tanggal 17 Agustus 1949, Wakil Presiden, Perdana Menteri RI mengadakan perayaan 17 Agustus yang keempat kalinya diruangan ini. Beliau berpidato dimana antara lain dikatakannya, 4 tahun lamanya kami berjuang dimana kami mengalami kekalahan-kekalahan, tapi kami tidak mau mengaku kalah". Berhenti sejenak pada ceritanya Pak Rosihan termenung, memandang jauh keruang resepsi Kuur House yang kini adalah restoran hotel seolah jago tua wartawan ini berada menembus waktu lampau dan benar-benar berada ketika konperensi tersebut berlangsung. Meja Bundar berakhir dengan peristiwa "Penyerahan Kedaulatan" yang berlangsung diistana Dam, Amsterdam. Kami akan berkunjung kesana besok rencananya tanggal 25 Desember 2009, semoga tidak turun salju......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berita Studentsite

search box

clock

Total Tayangan Halaman

Followers

Translate

mp3 playlist

My Slide show

Banner

Background Pictures, Images and Photos