Jumat, 27 April 2012

Hukum Penjara dan Denda yang Melanggar Kegiatan Ekonomi

Nama : Agie Wahyu Winata NPM :27210031 Dosen : Budi Hermana Matkul : Aspek Hukum dan Ekonomi Istilah dan Pengertian Pidana berasal kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Dapat dikatakan istilah pidana dalam arti sempit adalah berkaitan dengan hukum pidana Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit). Selanjutnya istilah hukum pidana dalam bahasa Belanda adalah Strafrecht sedangkan dalam bahasa Inggris adalah Criminal Law. Pengertian hukum pidana dibawah menurut pendapat para ahli sebagai berikut : 1. SIMONS, hukum pidana adalah keseluruhan larangan-larangan dan keharusan yang pelanggaran terhadapnya dikaitkan dengan suatu nestapa (pidana/hukuman) oleh negara, keseluruhan aturan tentang syarat, cara menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut. Tujuan Hukum Pidana Ada dua macam : 1. Untuk menakut-nakuti setiap orang agar mereka tidak melakukan perbuatan pidana (fungsi preventif) 2. Untuk mendidik orang yang telah melakukan perbuatan yang tergolong perbuatan pidana agar mereka menjadi orang yang baik dan dapat diterima kembali dalam masyarakat (fungsi represif). Sejarah Hukum Pidana Indonesia De Nederlander, die over zeen en oceanen baan koos naar de koloniale gebieden, nam zijn eigenrecht mee (orang-orang Belanda yang berada diseberang lautan dan samudera luas memiliki jalan untuk menetap di tanah-tanah jajahannya membawa hukumannya sendiri untuk berlaku baginya). Demikian kalimat pertama yang dikatakan oleh Prof. Mr. J.E Jonkers dalam buku karangannya Het Nederlandch-Indiche Strafstelsel yang diterbitkan pada tahun 1940 Maka, pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia sejak semula terdapat dualisme dalam perundang-undangan. Ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang Belanda dan orang-orang Eropa lainnya yang merupakan jiplakan apa adanya dari hukum yang berlaku di Belanda dan ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing (Cina, Arab, dan India/Pakiskan). Dualisme ini mula-mula juga ada dalam hukum pidana. Untuk orang-orang Eropa, berlaku suatu kitab undang-undang hukum pidana tersendiri, trmuat dalam Firman raja Belanda tanggal 10 Februari 1866 No. 54 (staatblad 1866 No. 55) yang mulai berlaku pada tanggal 1 januari 1867. Sedangkan untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing berlaku suatu kitab undang-undang hukum pidana tersendiri termuat dalam Ordonantie tanggal 6 Mei 1872 (staatblad 1872 No. 85 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1873. Seperti pada waktu itu di Belanda, kedua kitab undnag-undang hukum pidana di Indonesia ini adalah jiplakan dari Code Penal dari Prancis yang oleh Kaisar Napoleon dinyatakan berlaku di Belanda ketika negara itu ditaklukan oleh napoleon pada permulaan abad 19. Pada tahun 1881 di Belanda dibentuk dan mulai berlaku pad atahun 1886 suatu kitab undang-undang hukum pidana baru yang bersifat nasional dan yang sebagian besar mencontoh kitab undang-undang hukum pidana di Jerman. Sikap semacam ini bagi Indonesia baru diturut denagan dibentuknya kitab undang-undang hukum pidana baru (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie) dengan Firman raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915, mulai berlaku 1 Januari 1918, yang sekaligus menggantikan kedua kitab undang-undang hukum pidana tersebut yang diberlakukan bagi semua penduduk di Indonesia. Dengan demikian, diakhiri dualisme dari hukum pidana di Indonesia, mula-mula hanya untuk daerah-daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, kemudian untuk seleuruh Indonesia. KUHP ini ketika mulai berlakunya disertai oleh “invoeringsverordening” berupa Firman raja Belanda tanggal 4 Mei 1917 (Staatblad 1917 No. 497) yang mengatur secara terinci peralihan dari hukum pidana lama kepada hukum pidana baru. Tidak kurang dari 277 undang-undang yang memuat peraturan hukum pidana di laur kedua kitab undnag-undang hukum pidana, ditetapkan satu peratu, sampai dimana peraturan-peraturan itu dipertahankan, dihapuskan atau diubah. Keadaan hukum pidana ini dilanjutkan pada zaman pendudukan Jepang dan pada permulaan kemerdekaan Indonesia, berdasar dari aturan-aturan peralihan, baik dari pemerintah Jepang maupun dari Undang-undang Dasar RI 1945 pasal II dari aturan peralihan yang bebrunyi : “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undnag-Undang Dasar ini”. Dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946, termuat dalam Berita Republik Indonesia II Nomor 9 diadakan penegasan tentang hukum pidana yang berlaku di Republik Indonesia., disebutkan : “Dengan menyimpang seperlunya dari peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2. Peraturan tersebut mengandung dua pasal berikut : • Pasal 1 : Segala badang negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, slama belum diadakan yang baru menurut UUD, masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan UU tersebut. • Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945. Jadi yang akan dibahas tentang yang melanggar kegiatan ekonomi, khususnya dalam usaha Bank Perkreditan Rakyat : Bagian Ketiga Usaha Bank Perkreditan Rakyat Pasal 13 Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi : a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ; b. memberikan kredit ; c. menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ; d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain. Pasal 14 Bank Perkreditan Rakyat dilarang : a. menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran ; b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing ; c. melakukan penyertaan modal ; d. melakukan usaha perasuransian ; e. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pasal 15 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 11 berlaku juga bagi Bank Perkreditan Rakyat. Pasal 8 1. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. 2. Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 11 1. Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan. 2. Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 3. Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberikan kredit, atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada : a. pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank ; b. anggota Dewan Komisaris ; c. anggota Direksi ; d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c ; e. pejabat bank lainnya ; dan f. perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e. 4. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4). Pendapat Jadi Pendapat saya ambil dalam tulisan ini adalah dalam usaha Bank Perkreditan Rakyat setuju,karena usaha tersebut dapat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan financial yang sangat terdesak / mendadak. Sehingga dalam usaha tersebut banyak juga yang memanfaatkan kondisi tersebut, banyak yang melanggar perjanjian-perjanjian yang disepakati. Dan usaha tersebut membuat larangan-larangan seperti : menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas, melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, melakukan penyertaan modal, melakukan usaha perasuransian dan melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sumber : http://fdimasn.blogspot.com/2012/03/ringkasan-hukum-pidana.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berita Studentsite

search box

clock

Total Tayangan Halaman

Followers

Translate

mp3 playlist

My Slide show

Banner

Background Pictures, Images and Photos